Sebenarnya, jauh sebelum kasus Sampit mencuat,
sekitar 118 kilometer ke arah Palangkaraya, tepatnya di Desa Kerengpangi,
Kecamatan Katingan Hilir terjadi pembantaian tokoh pemuda Dayak setempat.
Namanya, Sendung. Tepatnya, di lokalisasi WTS Kerengpangi. Pada dini hari,
sekitar pukul 01.00 WIB (16 Desember 2000). Sendung datang ke lokasi perjudian.
Saat itu ,ada tiga warga Madura Mat Sura, Kacung dan Mat Suki sedang main judi
dadu gurak. Sebenarnya, antara Sendung dan ketiga warga Madura itu sudah saling
kenal.
Sendung dikenal sebagai tokoh pemuda Dayak yang
disegani. Sedangkan tiga Madura tadi dikenal sebagai penguasa lokalisasi.
Tiba-tiba, tangan Sendung menyenggol badan Mat Sura. Entah dipengaruhi minuman
atau balas dendam, Mat Sura tidak terima. Cekcok lantas tak bias dihindari.
Emil, pemuda Dayak, saat itu berusaha melerai. Tapi, tak dihiraukan. Mereka
tetap saja cek cok. Kacung, salah satu teman Mat Sura pulang ke rumah sekitar
75 meter dari lokasi semula untuk mengambil celurit. Begitu sampai, tanpa ba bi
bu lagi, Kacung membacokan ke tubuh Sendung. Sendung yang juga dikenal jagoan
berusaha melawan. Tapi, karena dikoroyok, Sendung pun tersungkur dengan tiga
luka bacok. Dada, leher dan perut. Sedangkan warga sekitarnya takut melerai.
Versi keluarga Sendung berbeda. Kepada Jawa Pos, diceritakan bahwa saat itu,
Sendung dijemput beberapa orang ke lokalisasi. Kabarnya, ada judi. Sendung yang
selama ini getol melarang perjudian dadu gurak di wilayahnya datang. Tapi,
Dewi, istri Sendung sudah membaca sepertinya ada rekayasa penciptaan suasana
agar ada bentrokan. “Makanya, begitu warga Madura tersenggol langsung cek cok,”
jelas salah satu keluarga Sendung. Esoknya, warga Dayak geger. Mereka pun
ramai-ramai mencari tiga warga Madura yang membunuh Sendung. Tapi, ketiganya
sudah lolos. Untuk melampiaskan kekesalnya, warga dayak membakari rumah
karaoke, tempat perjudian, warung makan dan rumah. Saat itu, ada
sekitar 16 rumah ludes dilalap api. Lokalisasi itu sebetulnya milik Akong.
Namun, pengelolaannya sehari-hari dipercayakan kepada tiga warga Madura
tesebut. Kini, Akong melarikan diri setelah terjadi insiden itu. Warga
makin dongkol karena polisi sepertinya membiarkan pelakunya lolos. Bahkan,
mereka mendengar kabar kalau sudahkabur ke Pulau Madura. Kedongkolan warga
Dayak makin memuncak karena itu bukan kasus yang pertama. Setiap kali, ada
warga Madura membunuh warga Dayak selalu lolos dan lari ke Madura. Kalau pun
masuk bui tidak lama. Kawan atau keluarganya bias menebus. “Makanya, kekesalan
warga Dayak sudah memuncak,” kata tokoh Dayak Sabran Akhmad kepada Jawa Pos.
Kerengpanggi sebenarnya hanya dusun kecil di tepi jalan raya Tjilik Riwut,
Palangkaraya Sampit. Tepatnya, di kilometer 99 jalan Cilik Riwut. Tapi, setelah
ditemukan tambang emas sekitar tahun 1980-an, dusun yang sepi mulai
menggeliat. Warga luar berdatangan mendulang emas.n Tidak terkecuali
warga Madura. Apalagi, sekitar tahun 1996 Sjamsul Nursalim lewat PT Ampahit
Perdana membuka pendulangan emas secara besar-besran. Dusun yang semula tenang menjadi
ramai dengan hadirnya pasar, toko, karaoke, mini market, bar, yang dilengkapi
lokalisasi WTS. Seiring bertambahnya warga yang mendulung emas, angka
kriminalitas makin meningkat. Tiada hari tanpa perkelahian. Umumnya
melibatkan warga Dayak dan Madura. Bahkan, Perengpangi biasa disebut Texas-nya
Kalteng. Pencurian, perkelahian, perampokan, perebutan tanah adalah hal bisa di
Krengpangi. Terhadap kenyataan itu, aparat keamanan seakan tak berdaya. Jarang
warga Madura yang ditangkap akibat tindak kriminalnya. “Kekesalan itu menjadi
terakumulasi hingga menimbulkan dendam kesumat bagi warga Dayak,” tandas
Sabran. Prof H.K.M.A Usop, mantan Rektor Universitas Palangkaraya yang kini
sebagai Ketua Presedium Lembaga Musyawarah Dayak Daerah Kalimantan Tengah
(KPLMDDKT), mengakui kalau banyak pelanggaran, tindakan kriminal yang merugikan
harta dan nyawa orang Dayak. Sebetulnya, setiap kali terjadi bentrok selalu
diakhiri perdamaian. Tapi, setiap kali pula warga Madura melanggarnya. Begitu
seterusnya. “Paling tidak sudah ada 15 kali perdamaian. Tapi, hasilnya sama
selalu dilanggar warga Madura,” kata Usop saat pertemuan tokoh masyarakat Dayak
dengan DPRD Kalteng. Bahkan, saat pembuatan jalan Palangkaraya-Kasongan
terjadi bentrok Dayak-Madura, tepatnya di Bukit Batu tahun 1983.
Setelah bentrokan reda,
dibuatlah perdamaian antara tokoh Dayak dengan tokoh Madura. Ada
satu poin penting dalam perjanjian itu. Yakni, Warga Madura dengan sukarela
akan meninggalkan Kalimantan Tengah jika melakukan pertumpahan darah terhadap
warga dayak. Tapi, berkali-kali ada pertumpahan darah warga Madura jangankan
pergi tapi makin banyak berdatangan ke Kalimantan. “Dokumen itu yanh kini
sedang kami cari,” tambha Usop. Tragedi pertumpahan darah di Kalimantan terjadi
tahun 1967, pasca G 30 S/PKI. Tragedi itu tak lepas dari ekor G 30 SPKI. Saat
itu pemerintahan Soeharto menuduh Cina di Kalimantan Barat adalah komunis.
Untuk mengenyahkan Cina komunis, Soeharto menggunakan salah satu etnis Dayak
untuk membunuh Cina yang komunis dan pendukung Pasukan Gerilyawan Serawak
(PGRS). Korban pun berjatuhan sebanyak 300 orang. Selebihnya, ratusan ribu Cina
diungsikan. Setelah itu, bentrokan Dayak tidak dengan Cina, tapi dengan Madura.
Dayak menuding perilaku warga Madura tak terpuji. Suka kekerasan, dan sering
melakukan tindakan kriminal yang banyak merugikan warga Dayak. Bentrokan kecil
dan besar antara dayak dan Madura di Kalimantan Tengah sejak 1983 sudah
terhitung 15 kali. Tapi, selalu berakhir perdamaian. Sebelum kasus Kerengpangi
dan Sampit, bentrokan besar terjadi tahun 1996 dan 1997 di Sangauleudo di
Kalbar maupun Sambas. Dimana dua warga dayak ditusuk sampai tewas oarang
Madura. Kerusuhan pun pecah, sedikitnya 1000 korban tewas. Dan sebanyak 2000
warga Madura diungsikan. (bh)
‘Kuluk,… Kuluk,… Kuluk…’,Esoknya Semua Tanpa
Kepala
BOHONG, kalau Gubernur
Kalteng Asnawi Agani mengatakan orang Madura yang tewas 200 orang, meskipun itu
informasi yang datang dari Posko Sampit. Hal ini dikatakan sejumlah orang
Madura yang ikut naik KRI Teluk Ende 517. Dalam pelayaran menyusuri Sungai
Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa Melihat puluhan mayat yang mengapung di
sepanjang sungai, dan sejumlah Bangunan rumah warga Madura dan Pasar Sampit/Pasar
Ganal yang tinggal temboknya yang hangus. Dikatakan seorang pengungsi yang
bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari (30), bahwa
yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di
pinggir. Sementara yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura.
“Ini baru yang di sungai, belum yang terserak di pinggir sepanjang Jl. Masjid
Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat,” katanya. Sementara di Jl. Sampit
Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan.
Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak.
Tidak ada yang menolong untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan
itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan tebasan mandau Dayak saja sudah
bersyukur. Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi
membedakan siapa yang akan dibunuh. Awalnya yang diserang hanya etnis Madura,
tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina. Mereka bukan hanya
ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong. Di mata etnis
Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi. Mereka (warga
etnis Madura) mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya disita petugas, dan
mereka (petugas) mengatakan, semua sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka
warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-tenang saja dan percaya
pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,… kuluk,… kuluk,…
sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura.
Tidak ada yang tersisa,
mereka yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada
malam hari, ratusan Dayak dengan suara kuluk…, kuluk…, sambung-menyambung
muncul dari segala penjuru. Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan
badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga etnis Madura yang ikut KRI Teluk
Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda. Karena
warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan
sengit. “Saat ini di sana yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak,” kata
Sopian. Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai
mengatakan, dia berjalan sambil sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang
cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia hanya melihat beberapa
warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas
melawan Dayak di Semuda. “Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak
lebih dari satu atau dua hari saja,” kata Sopian. Sopian bersama pengungsi lain
yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan suku Dayak.
Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh
Dayak. Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di
samping mereka sudah ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan
keliling kota. Tidak sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura
ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl. Sudirman.Kekesalan warga
Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi,
seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta
perlindungan setelah dikejar-kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar
ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi justru memanggil Dayak
yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat
pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat
merangkak sejauh 300 m sebelum lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari
hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke tempat pengungsian.
Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya. Seorang pengungsi,
Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan
dari daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi
Parengkuan yang dibawa oleh orang yang mengaku petugas dengan mengatakan akan
dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2, akhirnya dibantai habis.
Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura disuruh
turun dan dibantai. “Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200
pengungsi yang tewas dibantai,” kata Choiri. Choiri mengatakan, yang dibantai
itu semuanya wanita dan anak anak.
Begitu jemputan yang
kedua tiba, yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat
tidak di tempat pengungsian karena dikawal oleh Brimob dari Jakarta. Liar
Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl.
Pinang 20 Sampit mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut
pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya pernah bercerita padanya, mengapa
orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang. Awalnya
suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena
dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa
suaminya memilih jadi pasukan Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang
membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi dengan minyak yang
membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus
diburu dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa
kasihan, ini menurut Titin karena sudah diberi minuman dan olesan minyak
tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang sedang kesurupan,
mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan
perintah panglima perang suku Dayak. (R Dewanto Nusantoro)